Harga beras dunia tercatat mengalami penurunan signifikan hingga menyentuh titik terendah dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi ini memicu kekhawatiran negara-negara eksportir utama seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja yang selama ini menggantungkan pendapatan besar dari komoditas tersebut.
Menurut data pasar global, harga beras turun lebih dari 20% sejak awal tahun 2025, dipengaruhi oleh surplus produksi di beberapa negara serta turunnya permintaan impor dari sejumlah negara konsumen besar.
Negara Eksportir Utama Mulai Merasa Tekanan
Thailand, sebagai salah satu eksportir beras terbesar dunia, melaporkan penurunan permintaan dari negara-negara tujuan utama. Pemerintah Thailand telah memperingatkan petani untuk bersiap menghadapi potensi kerugian dan mulai merancang skema subsidi sebagai langkah mitigasi.
Hal serupa terjadi di Vietnam dan Kamboja, di mana gudang-gudang penyimpanan mulai kelebihan stok, dan harga jual petani jatuh di bawah biaya produksi. Sejumlah eksportir bahkan mulai mencari pasar alternatif di luar Asia Tenggara untuk menstabilkan permintaan.
Indonesia Cetak Rekor Produksi, Perkuat Posisi Sebagai Negara Swasembada
Sementara itu, Indonesia justru mencatatkan milestone baru dalam sektor pertanian. Produksi beras nasional tahun 2025 diperkirakan mencapai rekor tertinggi dalam satu dekade terakhir, berkat peningkatan indeks pertanaman (IP), keberhasilan program optimalisasi lahan (OPLAH), serta dukungan teknologi irigasi presisi yang diperkuat melalui kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB).
Menteri Pertanian menyatakan bahwa dengan peningkatan IP menjadi 2–3 kali tanam per tahun di sejumlah sentra produksi, Indonesia semakin dekat untuk sepenuhnya mewujudkan swasembada beras secara berkelanjutan.
"Ini adalah hasil dari kerja keras petani, dukungan teknologi, dan sinergi antar lembaga. Di tengah gejolak pasar global, kita justru memperkuat ketahanan pangan dalam negeri," ujar Menteri Pertanian dalam konferensi pers di Jakarta.
Imbas Terhadap Kebijakan Perdagangan dan Konsumsi
Penurunan harga dunia turut berdampak pada kebijakan impor beras di berbagai negara, termasuk Indonesia. Namun, dengan produksi dalam negeri yang mencukupi, pemerintah berkomitmen untuk menjaga keseimbangan pasar domestik agar tidak merugikan petani lokal.
Ekonom pangan memperkirakan harga global yang rendah akan terus berlanjut hingga pertengahan 2026, kecuali terjadi gangguan iklim besar atau kebijakan proteksionis dari negara produsen utama.